IFC Batam Kirim Surat Kepada Presiden Minta Masyarakat Batam Dibebaskan dari Beban Kewajiban Bayar UWTO
Dalam hal kepemilikan lahan di Pulau
Batam, memang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Sejauh ini, masyarakat di Batam hanya mengenal
hak guna bangunan. Artinya, masyarakat
hanya berhak atas bangunan rumahnya,
sementara lahan tempat bangunan
rumahnya berdiri sewaktu-waktu bisa
digusur jika seandainya pengelola
lahan dalam hal ini BP Batam (dahulu Badan Otorita Batam -red) memerlukannya. Maka tak mengherankan, pemilik bangunan rumah
di Kota Batam dikenakan dua kali biaya.
Pertama UWTO (Uang Wajib Tahunan
Otorita) yang dipungut BP Batam untuk jangka 30 tahun. Ini bermakna bahwa masyarakat hanya sebagai penyewa lahan dari BP Batam dengan
membayar UQTO dalam jangka waktu 30
tahun yang selanjutnya bisa diperpanjang.
. Kemudian biaya kedua yang harus
dibayar yaitu PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang dipungut Pemko Batam. Dua macam pungutan diatas, sudah lama menjadi polemik ,
terutama mengenai pembayaran UWTO oleh masyarakat Batam. Bahkan
Badan Pertanahan Nasional Batam
beserta masyarakat sudah pernah meminta BP Batam untuk membebaskan masyarakat dari
pembayaran UWTO.
Sementara
di beberapa daerah Indonesia sejak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tengah
ramai pemberian sertifikat tanah secara gratis.
Maka untuk Kota Batam, rasanya pemberian sertifikat gratis tersebut
masih menemui banyak kendala kendati sebenarnya BPN Batam telah
mensosialisasikan kepada masyarakat akan
adanya pemberian sertifikat gratis sesuai dengan program pemerintah pusat. Kendala utamanya adalah masalah pembayaran
UWTO. Sebab untuk pemberian sertifikat
gratis harus terlebih dahulu pelunasan UWTO.
Padahal banyak masyarakat Batam
yang kurang mampu membayar UWTO.
Perjuangan untuk pembebasan pembayaran UWTO sampai saat ini terus bergulir. Salah satunya dari LSM IFC
Kepri yang meminta Presiden Joko Widodo membebaskan masyarakat Kota Batam membayar
UWTO.
Pardon menemui Kepala BP Batam Ir H Mustofa Wijaya MM tahun 2015 |
Dalam isi
surat IFC kepada Presiden Joko Widodo yang disebut sebagai Aspirasi Masyarakat Batam
untuk dibebaskan dari pembayaran UWTO khususnya untuk lahan permukiman yang
ditempati, didasarkan dengan isi Undang-undang 1945 pasal 33 dimana bumi dan
air yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk kepentingan dan
kemakmuran rakyat Sesuai pula dengan
pembukaan UUD 1945 bahwa sesunguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,
oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Namun
kenyataannya, masyarakat kota Batam sampai saat ini terkesan masih terjajah
karena tidak berhak kepemilikan lahan atau sertifikat hak milik.
Masih dalam bagian surat IFC kepada
Presiden dijelaskan, bahwa Presiden dalam beberapa kali statemennya berkata
kepada masyarakat, bahwa setiap warga Negara berhak mendapat perlindungan dan
hak yang sama dalam bernegara dari Sabang sampai Merauke. Apalagi dalam suatu pertemuan Presiden dengan
elemen masyarakat pernah menegaskan, bahwa semua warga NKRI harus memiliki
Sertifikat kepemilikan tanah atas tanah mereka.
Dari
penegasan Presiden itu, berarti tidak terkecuali, termasuk tanah yang berada di pulau Batam. Namun sampai saat ini hingga menjelang
selesai kepemimpinan Presiden,
masyarakat Batam masih terbelenggu oleh kepentingan penguasa dan
birokrasi. Sehingga penegasan Presiden
bagi setiap warga Indonesia untuk kepemilikan Sertifikat hak milik atas
tanahnya, belum ada realisasinya,
khususnya bagi masyarakat Batam.
Dikaitkan dengan memontum 73 tahun merdeka,
ternyata masyarakat Batam masih terjajah oleh penguasa, dalam hal ini
pemerintah dengan melakukan diskriminasi terhadap warganya sendiri jika
dibandingkan dengan daerah lainnya sudah bersertifikasi. Sebab kebijakan Kepala BP Batam memberlakukan pembayaran UWTO/system sewa
terhadap masyarakat Batam yang masih berlaku sampai saat ini, identik dengan
sebuah bentuk penjajahan secara halus kepada rakyatnya sendiri. Apalagi dengan situasi ekonomi yang sulit
saat ini, sementara daerah lainnya di
Indonesia tidak ada pemberlakuan seperti di Batam. Karenya dalam point terakhir surat IFC Kepri
kepada Presiden Jokowi menuntut agar masyarakat Batam dibebaskan .dari beban
kewajiban membayar UWTO atas tanah di Batam, khususnya tanah pemukiman yang
sudah ditempati. Menurut Pardon,
Surat kepada Presiden Jokowi tembusannya
sudah diterima oleh pihak BP
Batam dan instansi lainnya. Sejauh ini,
Kepala BP Batam Lukita Dinasryah belum bisa dikonfirmasi, terkait surat IFC
Kepri itu kepada Presiden Jokowi yang tembusannya juga diterima BP Batam,
Sebagai
catatan, Kantor Badan Pertanahan Nasional
Batam tahun 2017 lalu menargetkan akan menerbitkan
sertifikat sebanyak 15 ribu untuk masyarakat Batam. Namun target tersebut belum bisa tercapai sesuai arahan dari pemerintah
pusat. Informasi yang diperoleh media ini, kenyataannya baru mencapai kurang
lebih 30 persen dari target. Penyebabnya terutama dalam hal pembayaran
UWTO dan beberapa kendala lainnya. Padahal animo masyarakat sangat tinggi untuk
mengurus Sertifikat tanah tempat
pemukimannya. Namun Pardon
menambahkan, surat IFC kepada Presiden akan terus
ditindaklanjuti sampai akhirnya nanti tuntutan masyarakat Batam untuk
pembebasan pembayaran UWTO bisa dikabulkan Presiden. (arifin)