Header Ads

Museum Pusaka Karo Memikat Wisatawan Mancanegara



Museum Pusaka Karo
KABUPATEN Karo sejak lama menjadi tujuan wisata bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Bahkan daerah berudara dingin ini menjadi buah bibir bagi bangsa-bangsa. Alamnya yang memesona melatarbelakangi daerah ini tak habis-habisnya dikagumi sebagai daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia. Maka tak perlu heran, tak putus-putus wisatawan  berdatangan ke daerah yang dikelilingi sejumlah gunung ini. Dan meski Gunung Sinabung menjadi momok bagi penduduk sekitarnya, namun tak menghambat minat wisatawan berkunjung ke Kota Berastagi yang nota bene adalah ibukota Kabupaten Karo. Memang, Kota Berastagi cukup dekat dengan Gunung Sinabung yang pernah dikunjungi Presiden RI Joko Widodo ini.
Kota Berastagi tak hanya mengandalkan keindahan alam Bukit Gundaling dengan ciri khas kuda sebagai sarana angkutan wisata guna menarik minat wisatawan. Melainkan Kota Berastagi berupaya menarik minat wisatawan dengan menampilkan salah satu desteni wisata yang bukan pesona alam. Apakah itu? Tak lain dan tak bukan adalah Museum Pusaka Karo yang merupakan kiblat peradaban Suku Karo.
        Bentuk bangunan Museum Pusaka Karo cukup unik dan tak sebagaimana umumnya bangunan museum. Pasalnya, dulu gedung museum ini adalah Gereja Katolik yang berubah fungsi jadi Museum Pusaka Karo.  Museum Pusaka Karo berada di lokasi strategis, tepatnya di Jalan Perwira No.3 Kota Berastagi, Kabupaten Karo. Berdekatan dengan Plaza Telkom dan kantor Tourist Information Centre serta Pasar Buah Buah Berastagi.Sebenarnya, Museum Pusaka Karo dikategorikan museum swasta (privat museum) di mana sama sekali tak dikelola Pemerintah Kabupaten Karo. “Berdirinya museum Pusaka Karo ini digagas oleh seorang Pastor Belanda bernama Joosten Leonardus Egidius yang sudah menetap selama 45 tahun di Indonesia,” kata Petugas Museum Kriswanto Ginting (30) kepada penulis  belum lama ini di Museum Pusaka Karo. Meski Museum Pusaka Karo bukan milik pemerintah, namun pembukaannya diresmikan atas nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Prof.DR.HM.Ahmansyah pada tanggal 9 Pebruari 2013 lalu dan sekaligus diberkati Uskup Agung Medan, MGR.Anicetus B.Sinaga.OFM.CAP.
         Museum Pusaka Karo selain dikunjungi turis nusantara, juga dikunjungi turis mancanegara, antara lain dari Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Belgia, Inggeris dan Amerika. “Tapi, lebih banyak turis dari Jerman berkunjung ke museum ini,” ujar lelaki berkaca minus yang memiliki ibu berasal dari Solo ini.
Uniknya lagi, setiap wisatawan berkunjung ke Museum Pusaka Karo tak dipungut bayaran alias gratis. Tapi, di museum ini disediakan kotak terbuat dari kaca transparan di atas sebuah meja. Kegunaan kotak berukuran cukup besar ini untuk apa ya? Ternyata museum yang sangat bersih dan tertata rapi ini menerima donasi secara sukarela dari pengunjung. “Kami menerima donasi dari pengunjung yang sifatnya tak memaksa. Berapa pun jumlahnya, kami terima dengan senang hati dan bisa langsung dimasukkan melalui lobang pada kotak ini,” kata Kriswanto sembari menunjuk kotak donasi yang di dalamnya berisi beberapa lembaran uang kertas pecahan Rp 5000, Rp 10.000 dan Rp 20.000. Dia juga mengungkapkan, museum yang buka mulai pukul 8.30 WIB hingga pukul 16.30 WIB ini, mempekerjakan 3 orang petugas museum termasuk dirinya sendiri.

Tempat Penelitian
        Memuliakan Kebudayaan melalui Museum, agaknya tak berlebihan motto Museum Pusaka Karo. Maka tak pelak, tujuan museum ini dibangun adalah guna melestarikan, mengembangkan, merawat dan sekaligus mempublikasikan Kebudayaan Karo.Keberadaan Museum Pusaka Karo dapat dijadikan sebagai acuan guna menggali kekayaan Budaya Karo dimasa lalu. Betapa tidak, banyak benda-benda dipajang di museum ini berusia ratusan tahun, yakni dibuat mulai tahun 1800. Mulai dari Pustaka Lak-lak berbentuk buku terbuat dari kulit kayu beraksara Karo asli berisi mantra-mantra yang ditulis dengan tinta dari getah kayu. Pustaka Lak-lak ini terdiri dari banyak buku berukuran kecil, sedang hingga ukuran besar. Buku-buku yang masih utuh ini, kata Kriswanto, dulu sempat dibawa Belanda dari Tanah Karo. Kemudian dibawa kembali ke Tanah Karo setelah ditemukan di Belgia. ”Pastor Joosten Leonardus Egidius yang membawa buku-buku bersejarah ini dan dipajang di Museum Pusaka Karo ini,” kata Kriswanto lagi.
        Menurut Kriswanto, selain Pustaka Lak-lak sering menjadi pusat perhatian pengunjung, juga Padung-padung dan Tungkat Malaikat. Padung-padung atau anting-anting Karo yang terbuat dari perak berbobot cukup berat, dipergunakan sebagai hiasan pada pesta-pesta adat. Ukuran Padung-padung ini, mulai dari ukuran kecil, ukuran sedang hingga ukuran besar. Sedangkan Tungkat Malaikat terbuat dari kayu yang diukir, ditambah bulu ayam, benang benalu tiga warna, mulai merah, hitam dan putih. Panjang Tungkat Malaikat ini sekitar 150 cm yang kegunaannya untuk mengguncang desa Ngankari. Tungkat Malaikat hanya dipergunakan oleh dukun mengusir roh-roh jahat. Konon katanya, Tungkat Malaikat ini tak boleh dipergunakan di daerah yang tergenang air (taneh mati).
        Kemudian Amak Mbelang (tikar) terbuat dari daun pandan berduri yang dianyam, Amak Cur, Gung dari perunggu, Pisau Tumbak Lada, Timbangan Emas, Kulcapai, Gendang Singindungi, Naga Marsarang, Senjata Api Laras Panjang, Tagan Kicik, Pinggan Pasu, Manca-manca, Sempul-sempul, Buli-buli, Raga Dayang-dayang, Petak, Kala Kati, Kampil, Tutu-tutu, Roka, Perlebeng, Baka Tutup, Ukat, Nutu Lesung, Kudin Gelang yang konon usianya sudah ratusan tahun. Tentu, ratusan lagi jumlah benda peninggalan sejarah Budaya Karo terpajang rapi di dilantai satu dan lantai dua Museum Pusaka Karo yang amat menarik dilihat bahkan ditelusuri dan diselami guna memperkaya pengetahuan tentang keparipurnaan budaya bangsa. Juga di museum ini tersedia bermacam souvenir yang dapat dibeli dengan harga terjangkau.
         Meski usia Museum Pusaka Karo terbilang muda, namun kenyataannya dijadikan sebagai tempat penelitian sejarah budaya oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari mahasisawa USU Medan, Universitas Negeri Medan, Universitas Katolik Medan, Universitas Panca Budi Medan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan ISI Yogyakarta. “Mahasiswa-mahasiswa itu berdatangan guna melakukan penelitian terhadap benda-benda bersejarah di museum ini untuk materi pembuatan skripsi. Juga tak ketinggalan rombongan pelajar dari berbagai daerah mengunjungi museum ini,” ungkap Kriswanto bangga.
Itulah keberadaan Museum Pusaka Karo. Di usianya masih relatif muda, mampu menarik minat wisatawan nusantara, terlebih wisatawan mancanegara. Tentu, perhatikan dan dukungan konkrit pemerintah sangat dibutuhkan. Tak perlu dilirik sebelah mata keberadaan Museum Pusaka Karo. Sebab suka tak suka, harus diakui, Museum Pusaka Karo hadir sebagai salah satu aset bangsa yang dapat diandalkan menggaet wisatawan di Tanah Karo Si Malem. (Jansen Napitupulu)  







Diberdayakan oleh Blogger.