Jaga Keteduhan hingga RT
Dua pasangan Capres-Cawapres saat mengambil nomor urut |
JawaPos.com - Idealnya, prinsip kampanye itu
tidak jauh berbeda dengan iklan atau pariwara sebuah produk. Boleh
membagus-baguskan produk sendiri dan tidak menyindir produk kompetitor sama
sekali. Dengan cara seperti itu, tak akan ada persinggungan antar pengiklan
atau tim kampanye. Terwujudlah kampanye yang damai. Tapi, tentu dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden, membaguskan calon sendiri tidaklah cukup. Tidak sesederhana itu.
Karena untuk mengesankan satu calon bagus,
juga harus dibandingkan dengan kondisi kompetitor. Sehingga tak terhindarkan
mencoba menelaah atau mendalami program pihak lain.
Maka, bisa jadi akan ada kecenderungan
untuk mencari dan memunculkan kelemahan lawan. Tim calon lain pun akan membalas
hal serupa. Saling berbalas itulah yang membuat sulit tercapai kampanye teduh.
Cenderung riuh dan bisa menimbulkan gesekan. Menurut saya, asalkan saling membandingkan
itu hanya sebatas
pada program, visi, dan misi, itu tentu hal yang fair saja.
Misalnya, dijabarkan dengan logika sehat, program Bapak atau partai Bapak ini
tidak tepat dengan alasan ini itu dan disertai data-data.
Dua pasangan Capres-Cawapres bersama Ketua KPU
Kita sebaiknya menghindari isu-isu yang
sudah diatur untuk tidak diangkat dalam kampanye. Di antaranya, isu tentang
identitas, agama, ras, dan kesukuan. Sebab, itu isu yang sensitif. Bahwa ada orang
yang memilih calonnya karena identitas tertentu, itu normal dan sah saja. Tapi,
kalau SARA dipakai untuk berkampanye, tentu hal yang kurang tepat. Apalagi
kalau dilihat perkembangan belakangan, itu mudah sekali, khususnya melalui
media sosial, berita-berita, atau meme tersebar dengan cepat. Dan masalahnya,
isi atau konten tersebut informasi yang tidak benar.
Bahkan, sengaja dibuat untuk memanas-manasi oleh pihak tertentu. Karena itu, harus lebih kuat lagi mengantisipasi isu-isu semacam itu. Harus ada upaya-upaya yang kuat untuk meng-counter model pemberitaan yang salah. Harus lebih kencang lagi upaya untuk melawan hoax di media sosial. Pengalaman pada Pemilu 2014 sebenarnya sudah memberikan banyak pelajaran berharga bahwa perang di media sosial berbahaya. Saya yakin sudah banyak masyarakat yang semakin dewasa dalam menyikapi kabar-kabar panas di media sosial. Tidak mudah menyebarkan kabar yang belum jelas asal-usulnya. Dan, yang juga tidak kalah penting, bisa saling mengingatkan agar temannya di media sosial tersebut tidak ikut-ikutan menyebarkan kabar bohong. Masalahnya, sekarang ini semakin bervariasi model-model penyebaran informasi keliru itu.
Sangat disarankan agar para pemilik akun
media sosial tidak segan-segan untuk memblokir akun yang berulang-ulang
menyebarkan informasi sesat atau provokatif. Tentu menjadi tugas polisi serta
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan patroli siber dan
memblokir akun-akun anonim tersebut. Lebih dari itu, yang paling penting adalah
pasangan calon dan tim kampanye langsung mencontohkan kampanye yang santun atau
damai. Bukan hanya di tingkat pusat. Karena kalau simbolnya hanya yang di atas,
pasangan calon presiden atau wakil presiden dan tim kampanye itu menurut saya
tidak cukup. Harus turun sampai tingkat daerah, termasuk pada relawan. Bahkan,
kampanye di level desa, RT, dan RW harus diberi pemahaman kampanye damai.
Apalagi, masa kampanye pemilu punya
durasi yang panjang, tujuh bulan. Di dalam masa yang panjang itu, biasanya
kalau kita sudah letih, jadi lebih mudah tersulut emosi. Terutama bagi tim
kampanye harus betul-betul aktif dan memperhatikan faktor psikologis tersebut. Tapi,
waktu yang terbilang cukup lama itu juga sekaligus bisa menjadi ajang
pendewasaan untuk masyarakat. Kita juga harus mengingatkan diri kita sendiri,
orang lain, aparat, dan lembaga bahwa dalam demokrasi atau pemilu itu salah satu
karakter keberhasilannya adalah damai. Kompetisi untuk menang memang iya. Tapi,
bukan cara memaksa, apalagi dengan kekerasan. Adalah tanggung jawab kita
masing-masing menjaga pilpres damai.