Home Ekonomi Makro Indonesia Masuk Daftar 8 Negara dengan Risiko Krisis Paling Kecil
![]() |
salah satu sudut KKota Metropolitan Jakarta |
1.
Indonesia
Nilai tukar rupiah beberapa waktu
terakhir mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Namun, pelemahan tersebut
dipandang cenderung gradual dan sejalan dengan kebijakan pengetatan moneter
yang dilakukan bank sentral AS Federal Reserve. Meski begitu, Indonesia
dipandang cukup resilien dalam menghadapi kondisi tersebut, terlihat dari
cadangan devisa yang cukup tinggi untuk menahan pelemahan nilai tukar lebih
lanjut. Selain itu, pemerintah pun telah melakukan serangkaian upaya untuk
memperbaiki defisit transaksi berjalan. Rasio utang Indonesia pun dipandang
masih cukup baik. Dengan cadangan devisa yang tercatat 117 miliar dollar AS dan
rendahnya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih
cukup kuat dalam menahan pelemahan nilai tukar.
Nilai tukar real Brasil terpuruk terhadap
dollar AS selama 2,5 tahun terakhir. Hal ini disebabkan kenaikan suku bunga di
AS dan ketidakpastian politik di Negeri Samba tersebut. Namun, di sisi lain,
perekonomian Brasil sedang mengalami pemulihan meski masih cenderung
underperform, yang didorong konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Brasil
sejauh ini mencapai 1,1 persen, jauh dibawah ekspektasi sebelumnya, yakni 2,7
persen. Bank sentral Brasil pun telah melakukan serangkaian upaya stabilisasi real,
antara lain kebijakan swap valas. Awal Agustus 2018 lalu pun suku bunga acuan
ditahan di level 6,5 persen.
3.
Kazakhstan
Sama seperti negara-negara berkembang
lainnya, nilai tukar mata uang tenge Kazakhstan juga melemah
terhadap dollar
AS. Bank sentral Kazakhstan menyebut, nilai tukar tenge melemah lantaran
ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme AS, dan sanksi yang diterapkan
terhadap Rusia, China, dan Turki. Namun, bank sentral tetap mempertahankan
rezim nilai tukar mengambang dan siap melakukan intervensi untuk stabilisasi
tenge. Selain itu, negara tersebut juga terus mengembangkan pariwisata.
![]() |
Astana Khazasran |
Pemerintah Bulgaria tengah
mengusahakan keanggotaan mata uang euro dan uni perbankan Uni Eropa hingga Juni
2019 mendatang. Oleh karena itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi
perekonomian Bulgaria. Hal ini turut membuat perekonomian negara tersebut
cenderung solid. Beberapa syarat itu antara lain perbaikan bingkai kerja
keuangan makro, memperkuat pengawasan sektor keuangan non-bank, serta upaya
lebih keras dalam memberantas pencucian uang. Reuters mewartakan, inflasi
Bulgaria cenderung rendah. Selain itu, anggaran Bulgaria pun mengalami surplus
dan rasio utang pemerintah cenderung rendah. 5.
5.Peru
![]() |
pegunungan di Peru |
Pemulihan
ekonomi Filipina dihantui beberapa risiko,
antara lain inflasi yang tinggi dan risiko eksternal. Namun demikian,
pertumbuhan ekonomi negara tetangga Indonesia tersebut masih cukup tinggi,
yakni 6 persen pada kuartal II 2018. Bank sentral Filipina menyatakan,
perekonomian Filipina cukup resilien menghadapi risiko eksternal, termasuk
krisis di sejumlah negara berkembang, seperti Turki dan Argentina. Gubernur
Banko Sentral Ng Filipinas Nestor Espenilla mengungkapkan, fundamental ekonomi
Filipina sangat bagus. "Pertumbuhan (ekonomi) kita sangat kuat, posisi
fiskal kita tersusun rapi, dan posisi eksternal kita cenderung baik meski
defisit, serta rasio utang rendah," kata Espenilla seperti dikutip dari
Philippines Star.
Perekonomian Rusia dihantui sejumlah
risiko, seperti dijatuhkannya sanksi oleh AS hingga krisis. Akan tetapi,
pertumbuhan ekonomi negara tersebut dipandang memiliki prospek yang cukup baik,
meski diyakini tak akan terlalu tinggi. Menurut Perdana Menteri Rusia Dmitry
Medvedev, ada sejumlah indikator perekonomian Rusia yang tercatat baik. Rasio
utang luar negeri telah mencapai level minimun. Selain itu, daya saing industri
manufaktur Rusia juga menguat, serta substitusi impor terjadi di sejumlah
segmen. Kemudian, ekspor non-migas juga tumbuh positif, termasuk peningkatan
peran sektor keuangan.
Berkebalikan dengan negara-negara
berkembang lainnya, nilai tukar baht Thailand justru menguat. Bahkan, baht
merupakan mata uang berkinerja terbaik di Asia dan nilainya terus stabil
sepanjang tahun. Perkasanya baht merupakan dampak dari fundamental ekonomi
Thailand yang kuat. Inflasi di Negeri Gajah Putih tersebut rendah dan surplus
transaksi berjalannya pun besar.
VOA mewartakan,
besarnya surplus transaksi berjalan Thailand sebagian didorong pertumbuhan
sektor pariwisatanya yang sangat kuat. Surplus transaksi berjalan mendukung
kuatnya nilai mata uang suatu negara dan berarti negara tersebut kurang
bergantung pada mata uang asing. Selain itu, Thailand adalah eksportir besar
mobil dan barang-barang lainnya, yang juga memberikan kontribusi penting
terhadap surplus transaksi berjalan.