Header Ads

SKB 3 Menteri Terhadap Ahmadiyah Langgar Hak Warga Negara

Aturan mengenai dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri) bagi pelaku penyimpangan agama, seperti yang berlaku bagi para penganut Ahmadiyah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Demikian disampaikan oleh Ketua YLBHI Asfinawati yang menjadi Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Sidang keenam Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/11) di Ruang Sidang MK.

Asfinawati menyebut tuduhan pelanggaran terhadap ketentuan sebuah undang-undang merupakan tuduhan serius. Apalagi dapat berujung pada pemidanaan, pemberian perintah dan peringatan keras tanpa kesempatan pembelaan seperti yang dialami oleh para penganut Ahmadiyah masuk ke dalam bentuk pelanggaran terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ia menyebut dalam konsep negara hukum, jika ada tuduhan kepada seseorang, maka terdapat asas presumption of innocence atau praduga tidak bersalah dan kewajiban memberikan jawaban dan pembelaan atas tuduhan tersebut. Selain itu, lanjutnya, terhadap keputusan yang berupa perintah atau peringatan seperti SKB 3 Menteri terhadap Ahmadiyah, bisa diuji di pengadilan sebagai bagian dari due process of law.

“Pada dasarnya, Pemohon sepakat bahwa SKB adalah sebuah beschikking dan bukan regeling yang harusnya bisa diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena, agar tidak terlanggarnya hak-hak konstitusional, penting bagi Mahkamah memberikan amar putusan menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang PNPS secara bersyarat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bagi yang dituduh tersebut, haruslah diberikan kesempatan melakukan pembelaan secara adil dan keputusan bersama tersebut adalah keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara,” tegasnya.

Kemudian, Asfinawati berpendapat keberadaan pasal yang diujikan oleh Pemohon, memberikan wewenang bagi Pemerintah untuk melakukan pembubaran terhadap organisasi tanpa prosedur pengadilan. Pasal tersebut, lanjutnya, juga berpotensi menyebabkan situasi ketidakpastian hukum. Dalam suatu negara hukum, tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berorganisasi yang merupakan salah satu wujud dari kebebasan sipil. Jika pun ada pembubaran organisasi, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due of law dan menempatkan pengadilan sebagai pemegang peranan kunci dalam prosesnya. “Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, yaitu kedua belah pihak, baik Pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran harus didengar keterangan secara berimbang atau putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi,” urainya.

Dalam kesempatan itu, Pemohon menghadirkan sejumlah saksi yang menerangkan terampasnya hak dalam menjalankan ibadah akibat berlakunya SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah. Salah satunya Dedy Sunarya yang berasal dari Komunitas Muslim Ahmadiyah Cipeyuem, Cianjur, Jawa Barat. Dalam kesaksiannya, Dedy menyebut haknya untuk beribadah terhalangi. “Penentangan semakin menjadi dengan keluarnya SKB tiga menteri. Masjid kami pernah disegel dan dicorat-coret dengan pilox oleh salah satu ormas yang ada di Cianjur, Ormas Islam,” terangnya.

Para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.

Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal.  Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.
Diberdayakan oleh Blogger.