Bukan Hak Konstitusional, MK Tolak Uji Aturan Remisi
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh sejumlah terpidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Permohonan dengan Nomor 54/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya. Sejumlah terpidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin yang menjadi Pemohon, di antaranya mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Advokat Otto Cornelis Kaligis, mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Gubernur Provinsi Papua Barat Periode 2009-2014 Barnabas Suebu, dan mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno. “Amar putusan, memgadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief.
Dalam permohonan awalnya, para Pemohon menilai dalam menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan terdapat nilai-nilai Pancasila, kepastian hukum, dan antidiskriminasi serta menjangkau perubahan sosial termasuk sistem kepenjaraan. Apabila UU Permasyarakatan tersebut dikaitkan dengan HAM dan kerangka teori konstitusi, maka diyakini pula aliran non-originalisme mampu menjawab Pancasila sebagai ruh nilai-nilai cita hukum. Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945. Apabila pasal tersebut dipandang perlu untuk dipertahankan, maka pemberian remisi itu berlaku umum tanpa diskriminasi sehingga ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh narapidana dengan catatan berkelakuan baik, sudah menjalani 6 bulan masa pidana, tidak dipidana seumur hidup atau ketentuan pidana hukuman mati.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat hak-hak narapidana sebagaimana termaktub dalam huruf a sampai dengan huruf m, termasuk hak atas remisi merupakan hak hukum yang diberikan oleh negara pada narapidana sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, remisi bukan hal yang tergolong dalam kategori HAM dan hak konstitusional. Apabila dikaitkan dengan pembatasan, baik terhadap hak hukum maupun hak asasi sekalipun hal tersebut tetap dapat dilakukan, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan UU.
Dalam batas penalaran yang wajar, Manahan menyebutkan suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma UU tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang lain semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. “Dengan demikian, sebab, norma a quo secara jelas merinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi permasyarakatan yang dianut UU a quo. Sehingga keberatan terhadap yang diajukan para Pemohon telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya,” tegas Manahan.
Dalam permohonan awalnya, para Pemohon menilai dalam menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan terdapat nilai-nilai Pancasila, kepastian hukum, dan antidiskriminasi serta menjangkau perubahan sosial termasuk sistem kepenjaraan. Apabila UU Permasyarakatan tersebut dikaitkan dengan HAM dan kerangka teori konstitusi, maka diyakini pula aliran non-originalisme mampu menjawab Pancasila sebagai ruh nilai-nilai cita hukum. Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945. Apabila pasal tersebut dipandang perlu untuk dipertahankan, maka pemberian remisi itu berlaku umum tanpa diskriminasi sehingga ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh narapidana dengan catatan berkelakuan baik, sudah menjalani 6 bulan masa pidana, tidak dipidana seumur hidup atau ketentuan pidana hukuman mati.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat hak-hak narapidana sebagaimana termaktub dalam huruf a sampai dengan huruf m, termasuk hak atas remisi merupakan hak hukum yang diberikan oleh negara pada narapidana sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, remisi bukan hal yang tergolong dalam kategori HAM dan hak konstitusional. Apabila dikaitkan dengan pembatasan, baik terhadap hak hukum maupun hak asasi sekalipun hal tersebut tetap dapat dilakukan, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan UU.
Dalam batas penalaran yang wajar, Manahan menyebutkan suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma UU tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang lain semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. “Dengan demikian, sebab, norma a quo secara jelas merinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi permasyarakatan yang dianut UU a quo. Sehingga keberatan terhadap yang diajukan para Pemohon telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya,” tegas Manahan.