Koruptor Diberi Karpet Merah Mahkamah Agung Ketum Pemuda Muhammadiyah: MA Abai Pertimbangkan Etika Publik
Dahnil Anzar Simanjuntak |
JawaPos.com - Ketua Umum
Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak angkat bicara
perihal keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan KPU (PKPU)
Nomor 20/2018, terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak menjadi bakal calon legislatif.
Menurut Dahnil, MA telah abai dalam
mempertimbangkan etika publik yang menginginkan sistem berdemokrasi secara
bersih. "Saya kira MA abai pertimbangan etika publik yang menghendaki
input demokrasi yang bersih, keinginan publik yang mau menyeleksi sejak awal
caleg-caleg yang pernah tersangkut kasus korupsi," ungkapnya saat
dikonfirmasi JawaPos.com, Jumat (14/9).Menurut Dahnil, penyeleksian sejak awal
itu penting, untuk mencegah kambuhnya praktik korupsi di bidang legislatif.
Karena caleg yang tersandung korupsi cenderung berpeluang mengulangi
perbuatannya.
"Untuk membantu mereka menjauhi kemungkinan itu terjadi, aturan
pelarangan koruptor tersebut justru sebenarnya menyelamatkan mereka, dan
tentunya yang utama menyelamatkan publik," tandasnya.
Kendati demikian, sebutnya, apapun
yang sudah ditetapkan oleh MA, dirinya akan tetap menghormati keputusan
tersebut sebagai keputusan hukum. Namun, untuk membendung langkah hukum
terhadap para mantan napi koruptor, maka baginya perlu mengingatkan sikap etik
partai-partai politik
untuk menunjukkan komitmen moralnya.. "Dengan
cara menarik saja caleg-caleg mantan koruptor itu, karena partai-partai
tersebut sudah menandatangani pakta integritas terkait hal tersebut sebelumnya
bersama KPU dan Bawaslu," tutupnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7
huruf g Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 terkait larangan mantan narapidana
kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal
calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Dengan begitu, mantan
narapidana dalam kasus tersebut diperbolehkan nyaleg. "Peraturan KPU
tentang larangan mantan narapidana (korupsi) menjadi caleg telah diputus MA
pada Kamis, (13/9) kemarin. Permohonan para permohon dikabulkan dan Peraturan
KPU tersebut telah dibatalkan MA,” kata Suhadi saat dikonfirmasi awak media,
Jumat (14/9).
Majelis hakim yang menyidangkan permohonan ini terdiri dari tiga hakim
agung dari kamar tata usaha negara. Mereka yakni Irfan Fachrudin dengan anggota
Yodi Martono dan Supandi. Tak hanya itu, sambung Suhadi, materi kedua Peraturan
KPU tersebut, bertentangan dengan Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016, yang telah
memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, sepanjang
yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.
Karena itu, Peraturan KPU dibatalkan.
Namun, salinan putusan belum dapat diunggah di Direktorat Putusan MA karena
masih dalam tahap minutasi,” jelas Suhadi.
Sebelumnya, permohonan uji materi Peraturan KPU ini diajukan sekitar 12
pemohon. Di antaranya dimohonkan oleh Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Wa Ode
Nurhayati, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi, dan
Ririn Rosiana. Mereka memohon pengujian Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g
Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun
2018 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu.